Jumat, 21 Maret 2014

ISLAM dan PERBANKAN SYARIAH

2.1 Pengantar
 
Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW. Fungsi-fungsi tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang.
 
Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.
 
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilij tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melkukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.
 
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (English: credit, Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Cerdit dalam bahasa inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (english : Check, France : Cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
 
2.2 Perbankan di Jaman Bani Abbasiyah
 
Istilah bank memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam melainkan yang dikenal adalah istilah jihbiz. Kata 'Jihbiz' berasal dari bahasa Persia yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal di jaman Mua'awiyah, yangk ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah.
 
Di jaman Bani Abbasiyah, jihbiz populer sebagai suatu profesi penukaran uang. Pada jaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut " fulus " yang terbuat dari tembaga. Sebelumnya uang yang digunakan adalah dinar (terbuat dari emas) dan dirham (terbuat dari perak). Dengan munculnya fulus, timbul kecenderungan di kalangan para gubernur untuk mencetak fulusnya masing-masing, sehingga beredar banyak jenis fulus dengan nilai berbeda-beda. Keadaan inilah yang mendorong munculnya profesi baru yaitu penukaran uang.
 
Masih dijaman tersebut, jihbiz tidak saja melakukan penukaran uang namun juga menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Bila di jaman Rasulullas SAW setiap satu fungsi perbankan dilaksanakan oleh satu individu, maka di jaman Bani Abbasiyah ketiga fungsi utama perbankan dilakukan oleh satu individu jihbiz.
 
2.3 Bolehkah Praktek Perbankan atau Jihbiz ?
 
Dalam urusan muamalat, hukum asal sesuatu adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dimana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadits yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit.
 
Begitu pula Islam menyikapi perbankan atau jihbiz. Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang syariah. Nah, dalam praktek perbankan konvensional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank konvensional tidak serta identik dengan riba, namun kebanyakan praktek bank konvensional dapat digolongkan sebagai transaksi ribawi.
 
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba Fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi'ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
 
Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah.
 
Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah:
1. Transaksi yang tidak mengandung riba.
2. Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3. Transaksi yang ditujukan unutk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah).
4. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah).
5. Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).
 
2.4 Jenis-jenis Riba di Perbankan
 
Dalam ilmu fiqh dikenal tiga jenis riba yaitu:
a. Riba Fadl
 
Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memnuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahnnya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
 
contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar.
   Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi sebenarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak.
   Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncullah ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham).
    Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda :
" Dari Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba." (HR Muslim)
   Diluar keenam jenis barang ini dibolehkan asalakan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda:
" Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (alrama). Seorang bertanya ; wahai rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW: "tidak mengapa,asal dilakukan dengan tangai ke tangan (langsung)." (HR Ahmad dan Thabrani).
   Dalam Perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
 
b. Riba Nasi'ah
 
Riba nasi'ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasi'ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. jadi al ghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan  al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu.
Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikans esuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman. (QS Al Hasyr,18 dan QS Luqman,34). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Pendapat Imam Sarakhi akan memperjelas hal ini.
" Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut" (Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut,juz.XII.,hal.109).
Dalam perbankan konvensional, riba nasi'ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bungan deposito, tabungan dan giro.
 
c. Riba Jahiliyah
 
 Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena pelanggaran kaidah "Kullu Qardin Jarra Manfa'ah Fahuwa Riba" (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi'ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan:
"Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur: "Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan",
"Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya den kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru" (Tafsir Qurtubi, 2/1157).
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.

2.5 Sesuai Syariahkah Murabahah Perbankan Syariah?

 Murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah memang tidak sama persis dengan definisi murabahah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih. Murabahah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Metode pembayarannya dapat dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan ( bi tsaman ajil/muajjal).
sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad murabahah yang meibatkan tiga pihak. Murabahah pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai pembeli) dengan penjual barang. Murabahah kedua dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai penjual) dengan nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi murabahah ini. Rukun murabahah pertama terpenuhi sempurna (ada penjual-ada pembeli, ada barang yang diperjualbelikan, ada ijab-kabul) demikian pula rukun murabahah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akad murabahah ini sah.

2.6 Sesuai Syariahkah Ijarah Perbankan Syariah ?

Ijarah yang dilakukan oleh perbankan syariah memang tidak sama persis dengan definisi ijarah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih. Ijarah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak yaitu penyewa dan yang menyewakan. Metode pembayarannya dapat dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan (bi tsaman ajil / muajjal).
Sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad ijarah yang melibatkan tiga pihak. Ijarah pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai penyewa) dengan yang menyewakan jasa. Ijarah kedua dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai yang menyewakan) dengan nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi ijarah ini. Rukun ijarah pertama terpenuhi sempurna (ada penyewa - ada yang menyewakan, ada jasa yang disewakan, ada ijab - kabul) demikian pula rukun ijarah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akad ijarah ini sah.

2.7 Sesuai Syariahkah Mudharabah Perbankan Syariah?

Mudharabah yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak sama persis dengan definisi mudharabah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih. Bank bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib) dan nasabah bank bertindak sebagai pemilik dana. Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib - ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagihasilkan, ada nisbah, ada ijab-kabul). Dengan demikian dapat dikatakan akad mudharabah ini sah.

sekian sekilas tentang kulitnya perbankan syariah, karena kalo untuk sampai kepada isi/intinya, mohon maaf belum kesampaian ilmunya. ini pun boleh dapat nyontek dari Buku Perbankan Syariah terbitan dari Direktorat Perbankan Syariah - Bank Indonesia, bulan Juli 2007.
untuk dasar hukum secara Al Quran dan Hadits nya tidak ditampilkan semuanya, hanya sebagian saja yaitu :
1. QS. 2: 275-280,
2. QS. 3: 130,
3. Hadits-hadits,
4. Ijma Ulama, dan
5. Fatwa-fatwa MUI.

 

3 komentar:

Menerima segala jenis Kritikan dan Saran, termasuk segala jenis pesanan apapun, namun MOHON tetap jaga tata bahasa dalam berkomentar, karena bahasamu adalah akhlakmu. selain itu nanti ngobrolnya malah jadi berdarah-darah....
Terimakasih atas kunjungannya.
Haturnuhun, Thank you, Danke, Arigato, Arigek gek cunungung...